Sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bercita-cita ingin memajukan perekonomian Indonesia dengan mendorong industrialisasi yang memang menjadi salah satu program unggulan Jokowi melalui Revolusi Industri 4.0.
Namun, daya saing industri RI masih rendah karena perekonomian masih ditopang oleh sektor komoditas.
Sektor industri di dalam negeri bisa dibilang masih bolong-bolong dan belum terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga selama ini Ibu Pertiwi banyak bergantung pada impor.
Salah satu industri yang tingkat ketergantungan impornya tinggi adalah industri kimia. Data Sistem Informasi Industri Nasional 2018 menunjukkan impor industri kimia, tekstil dan aneka nasional mencapai Rp 488 triliun atau 30% dari total impor manufaktur.
Sementara impor bahan kimia dan barang dari bahan kimia nasional mencapai Rp 275,21 triliun atau setara dengan 56% dari total impor industri kimia dan tekstil nasional kala itu.
Impor Industri Kimia Nasional
Padahal industri kimia harusnya menjadi tulang punggung bagi industri lain. Industri kimia juga memiliki peran strategis terhadap berbagai agenda proyek pembangunan strategis nasional Jokowi.
Ambil contoh saja, dalam agenda pembangunan infrastruktur nasional selain membutuhkan baja dan beton, kebutuhan akan pipa paralon (PVC) dan kabel juga meningkat pesat. Untuk pembuatan pipa paralon dan kabel butuh bahan dasar berupa plasticizer.
Contoh lain di industri migas, lifting (produksi siap jual) minyak RI yang terus menurun dari tahun ke tahun sementara kebutuhan dan konsumsi bahan bakar terus meningkat, membuat RI ketergantungan impor.
Salah satu pemicu rendahnya lifting migas adalah usia sumur yang sudah tua dan kurang produktif. Namun sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan adanya program enhanced oil recovery (EOR).
Untuk melakukan EOR, industri kimia dasar juga memainkan peranan penting. Material kimia yang dibutuhkan untuk EOR adalah poliakrilamid.
Melihat fakta ini miris rasanya jika ternyata tulang punggung industri tanah air keropos.
Namun kabar baiknya adalah, pemerintah sudah sadar akan hal ini. Dalam peta jalan atau road map Making Indonesia 4.0 di Indonesia, industri kimia masuk ke dalam lima industri prioritas yang akan digenjot.
Asa Presiden Jokowi untuk menggenjot sektor industri kimia juga bukan hanya omong kosong belaka.
Tercatat banyak perusahaan yang bergerak di sektor ini sudah mendapatkan insentif yang luar biasa berupa tax holiday alias kebebasan untuk tidak membayar pajak penghasilan selama hingga 20 tahun ke depan.
Tentu ini jadi kabar bagus untuk industri kimia domestik. Ada peluang yang bisa digarap sekaligus tantangan yang dihadapi oleh para pemain di industri ini.
Namun jika berkaca pada populasi masyarakat Indonesia yang besar (> 269 juta jiwa) serta adanya agenda pembangunan, kebutuhan akan bahan-bahan kimia di dalam negeri masih akan terus tumbuh dengan prospek yang bagus.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya tentu saja bagaimanakah cara investor mengambil keuntungan dari situasi ini?
Bagaimana dengan industri kimia di pasar saham?
Adakah saham di industri kimia yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang masih menarik untuk dilirik sahamnya?
Valuasi Emiten Industri Kimia di BEI
Well, apabila investor menyebut emiten industri kimia di BEI tentu saja pikiran para pelaku pasar akan langsung tertuju kepada duo emiten milik taipan Prajogo Pangestu yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) dan induk usahanya PT Barito Pacific Tbk (BRPT).
TPIA dan BRPT muncul di benak para pelaku pasar sebab kedua saham tersebut adalah dua saham berkapitalisasi pasar terbesar di industri kimia serta memiliki likuiditas yang cukup oke.
Akan tetapi dapat dilihat dari tabel di atas valuasi kedua perusahaan tersebut tergolong sangatlah mahal.
Tercatat TPIA dan BRPT masih membukukan rugi bersih sampai kuartal kedua tahun 2020 sehingga rasio pendapatan tahunan dibandingkan dengan harga pasarnya (PER, price to earnings ratio) tidak dapat di analisis.
Sedangkan untuk metode valuasi menggunakan nilai buku dibandingkan dengan nilai pasarnya (PBV, price to book value) maka tercatat PBV BRPT adalah sebesar 3,7 kali sehingga tergolong mahal dan sudah kurang menarik dikoleksi untuk jangka panjang.
Hal ini mengingat rata-rata PBV di sektor industri kimia sendiri hanyalah di angka 1,4 kali mengutip data Refinitv. Secara rule of thumb sendiri PBV di atas 1 kali bisa dikatakan mahal valuasinya.
Tentunya sebelum harga kedua perusahaan ini semahal sekarang tepat 5 tahun lalu harga BRPT dan TPIA sangatlah murah.
Tercatat harga BRPT pada perdagangan 21 September 2015 hanyalah Rp 12,45/unit setelah memperhitungkan pemecahan saham (stock split) yang dilakukan oleh perusahaan sebanyak dua kali pada periode ini yakni 1:2 pada 2017 silam dan 1:5 pada 2019 lalu sedangkan harga TPIA di tanggal yang sama hanyalah Rp 725/unit.
Selama rentang waktu 5 tahun harga saham BRPT sudah naik 5.952% ke level Rp 735/unit sedangkan saham TPIA sudah naik 884% ke level Rp 7.000/unit.
Ini artinya apabila 5 tahun lalu anda membeli saham BRPT sebanyak Rp 100 Juta, investasi anda sekarang bernilai Rp 5,9 miliar angka ini tentunya belum termasuk dividen yang dibagikan oleh BRPT.
Tentunya investor akan tertarik mencari kandidat 'The Next BRPT or TPIA'.
Apabila merujuk dari tabel di atas, salah satu emiten yang bergerak di sektor industri kimia dengan likuiditas yang baik yang memiliki valuasi paling murah apabila menggunakan metode valuasi PER adalah PT Tridomain Performance Material Tbk (TDPM) dengan PER sebesar 8,35 kali dengan PBV sebesar 0,65 kali sehingga secara valuasi TDPM tergolong murah.
TDPM masih mampu membukukan laba bersih di tengah serangan pandemi corona sebab salah satu produk TDPM adalah plasticizer yang menjadi bahan baku pembuatan paralon yang menjadi komponen penting industri migas dan infrastruktur yang merupakan salah satu agenda penting Presiden Jokowi.
Sedangkan apabila menggunakan metode PBV, emiten industri kimia yang paling murah jatuh kepada PT Polychem Indonesia Tbk (ADMG) dengan PBV sebesar 0,17 kali, akan tetapi ternyata ADMG gagal membukukan laba bersih selama 6 tahun terakhir sehingga murahnya valuasi ADMG secara PBV bisa jadi mencerminkan ketidakmampuan emiten dalam membukukan laba.
(Source: https://www.cnbcindonesia.com/market/20200918222118-17-187928/industrinya-oke-cuan-saham-kimia-ribuan-persen-mau-coba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar