Rabu, 22 April 2015

Menjaga Kemuliaan Ilmu

Dikisahkan Raja Harun Al-Rasyid sangat menginginkan anaknya untuk menguasai Kitab Al–Muwaththa’, karya Imam Malik. Sebab kitab tersebut merupakan masterpeace Madzab Maliki yang menjadi madzab yang dianut negaranya. Ia ingin anaknya, kelak, setelah menjadi Raja, bisa memutuskan suatu perkara dengan dasar hukum sesuai dengan madzab ini. Ia pun mengirim utusan untuk memanggil Imam Malik, sebagai shohibul kitab.

Mendengar uraian maksud Raja yang dituturkan oleh utusan kepada Imam Malik, Imam Malik pun mafhum dengan keinginan Raja Harun Al-Rasyid tersebut. Ia dengan bijak menyampaikan pesan ulang kepada Raja lewat utusan itu, “Semoga Allah memuliakan Raja Harun Al-Rasyid sebagai penguasa negeri Islam. Wahai utusan, tolong kabarkan kepada khalifah, bahwa ilmu itu harus dicari, bukannya ilmu yang mencari. Apa tidak ganjil apabila ada sumur mendatangi gayung? Katakan kepada Raja, bila ilmu dimuliakan, ilmu akan menjadi mulia. Namun bila ilmu dianggap hina dibandingkan dengan pangkat dan kekayaan, maka ilmu itu akan menjadi hina.”

Mendengar pesan Imam Malik tersebut, Raja Harun Al-Rasyid menanggapi, “Memang benar ucapan Imam Malik. Aku yang salah.” Maka sejak itu khalifah menyuruh kedua anaknya belajar di pesantren Imam Malik bersama anak-anak sebayanya dari berbagai kalangan umat Islam yang nyantri.

Syahdan suatu kali, manakala Khalifah Harun Al-Rasyid berencana berangkat menunaikan haji, ia bermaksud mendalamai ilmu manasik haji. Pemimpin Bani Abbasyiah itu pun mengundang Imam Malik agar membacakan kitab al-Muwaththa-nya’ di Istana. Itu karena ia mengira, Imam Malik dulu menolak datang ke Istana karena yang akan belajar adalah anak-anaknya. Sekarang khalifah sendiri yang membutuhkan, pasti Imam Malik bersedia menghadap ke Istana.

Ternyata Imam Malik tidak mau bersedia mengajari Raja Harun Al-Rasyid di Istana. Imam Malik tetap memprasyaratkan agar Raja Harun Al-Rasyid datang sendiri ke pesantrennya. Khalifah pun menyerah. Ia bersedia memenuhi permintaan Imam Malik untuk belajar di Pesantren Imam Malik.

Pada hari yang dijadwalkan, Khalifah diiringi para pengawal bertolak ke rumah Imam Malik. Waktu datang sudah banyak santri menunggu pengajian dimulai. Khalifah Harun al-Rasyid dipersilakan masuk ke ruang belajar oleh beberapa santri Imam Malik. Beliau menurut sambil bertanya-tanya di dalam batinnya, “Kemana Imam Malik, kenapa beliau tidak muncul menyambutku?”

Di ruangan itu, khalifah duduk di lantai beserta semua santri dan penduduk yang biasanya belajar kepada Imam Malik. Tidak berapa lama kemudian, Imam Malik yang menggunakan jubbah warna hijau indah, muncul dari balik pintu. Imam Malik menganggukkan kepala kepada seluruh santri dan hadirin yang memenuhi halaman rumahnya yang luas itu. Lalu beliau duduk di atas kursi. Raja Harun Al-Rasyid dan segenap santri dan pengunjung tetap duduk dibawah. Pengajian pun berlangsung hingga selesai.

Selama pengajian Raja Harun al-Rasyid terus bertanya-tanya dalam batinnya, “Kenapa Imam Malik tidak menghargai aku sebagai Raja? Kenapa aku ditempatkan duduk dibawah bersama dengan para santri? Kenapa aku tidak ditempatkan ditempat mulia? Kenapa ia tidak melihatku dan menyalami serta menyambut dengan kemuliaan?”

Imam Malik pun menutup pengajian malam itu dengan do’a dan salam. Setelah selesai pengajiannya, ulama’ panutan itu mendatangi Raja Harun Al-Rasyid di tempat dudukya dengan takzim. Sambil membungkuk, Imam Malik mepersilakan Raja Harun Al-Rasyid memasuki ruang lain. Di dalam ruangan Imam Malik, Raja Harun Al-Rasyid kagum memandangi ruangan yang ditata rapi dan dihias dengan sangat indah. Ditengah ruangan itu pun terdapat sebuah singgasana beralaskan permadani yang indah bak Istana sang Raja. Kepada Raja Harun Al-Rasyid, Imam Malik mempersilkan duduk di tempat itu.

Dengan pengalaman pada pengajian tadi, Raja Harun Al-Rasyid pun siap duduk dilantai. Apalagi dikamar itu hanya ada sebuah kursi. Itu pasti tempat duduk Imam Malik. Namun Imam Malik berkata “Jangan Tuanku! jangan duduk dibawah.”

“Apakah aku harus berdiri?” tanya khalifah agak dongkol.

“Tidak Tuanku! Silakan tunaku duduk di singgasana itu,” kata Imam Malik

“Tapi, tadi?” jawab Raja Harun Al-Rasyid terbata-bata

Sambil tersenyum Imam Malik menjelaskan, “Tadi Tuanku adalah seorang santri, dan saya seorang guru. Maka sesuai jabatan dan ilmu yang saya miliki, saya harus duduk di atas. Sekarang tuanku adalah Raja, dan saya rakyat biasa. Sebagai muslim, saya harus taat dan menghormati pemimpin saya.”

Sang Raja pun tertegun.

***

Dari cerita di atas, maka bisa diambil pelajaran bahwa seorang guru harus memiliki muruahatau kemuliaan atas ilmu yang dimilikinya. Ia tidak membedakan, atau bahkan silau atas gemilang dunia yang menghampirinya. Sehingga kemuliaan dirinya diinjak-injak oleh kekuasaan atau duniawi.

Seperti halnya cerita di atas, Imam Malik yang dipanggil oleh Raja Harun Al Rasyid untuk mengajari anaknya Kitab Al-Muwatha’ menolak dengan cara halus. Penolakan Imam Malik itu bukan karena pembangkangan menolak perintah pemimpinnya, tetapi lebih ingin mengedepankan tata krama hormat kepada Ilmu. Imam Malik memberi kesan, “Ilmu itu harus dicari bukan ilmu yang mencari”. Mencari itu aktif, tidak diam. Ia harus bergerak.

Karenanya bagi para pencari ilmu, ia harus terus mencari ilmu sampai dimanapun. Pesan ini membawa amanat bahwa meski anak seorang Raja, kepada ilmu harus hormat. Ia harus mau berjerih payah untuk mendapatkan ilmu. Sebab barang siapa yang berjerih payah menuntut ilmu maka  malaikat akan mengepakkan sayapnya untuk melindungi para penuntut ilmu. Ikan-ikan di lautan samudera akan mendoakan setiap hembusan nafas para penuntut ilmu.

Imam Malik mengajarkan, bahwa seorang guru itu harus memiliki idealisme. Ia tidak boleh terjerembab sebagai pelacur intelektual yang hanya menuruti kemauan penguasa. Idealisme guru atau ilmuwan adalah mengatakan kebenaran walau itu akan ditentang penguasa. Imam Malik dengan tanpa ewuh pakewuh, menasehati tanpa menyakiti, agar Raja Harun Al Rasyid segera sadar bahwa bertata krama terhadap ilmu itu penting. Tata krama atau adab yang bagus terhadap ilmu justru akan mengantarkan kemuliaan bagi orang yang memuliakan ilmu.

Selain mendatangi, adab seorang pencari ilmu adalah menghormati gurunya. Penghormatan yang diajarkan oleh Imam Malik dalam cerita di atas adalah murid bersimpuh dihadapan guru. Murid duduk tidak melebihi posisi guru. Murid harus selalu tawadhu dihadapan guru. Meskipun ia seorang Raja sekalipun.

Bahkan dalam beberapa keterangan kitab-kitab tentang adab mencari ilmu, sang murid tidak boleh mengeraskan suara melebihi suara guru. Bila berjalan, murid tidak boleh mendahului langkah seorang guru. Dan lain sebagainya. Intinya, tata krama terhadap guru itu harus dikedepankan.

Menariknya dalam cerita di atas, saat setelah mengajar ilmu, Imam Malik meminta Raja Harun Al-Rasyid untuk memasuki ruangannya. Di ruangan itu Imam Malik bersimpuh hormat takdzim kepada Raja Harun Al-Rasyid dan dipersilahkan duduk di kursi yang melebihi diri Imam Malik. Penghormatan Imam Malik bukan dalam posisi ia sebagai guru, namun penghormatannya karena ia sebagai rakyat yang harus takdzim kepada pemimpinnya.

Hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bagaimana harus bertata krama dalam kondisi dan posisi tertentu. Sewaktu menjadi guru dan saat menjadi rakyat biasa atau menjadi lainnya. Saat menjadi guru, tentu tingkah polah secara keseluruhan harus dijaga. Sebab seorang guru memiliki kemuliaan. Dan kemuliaannya terletak pada tata kramanya. Pun pula saat menjadi murid, seorang murid harus mampu menunjukkan adab yang bagus kepada gurunya. Begitu pula saat kita menjadi rakyat dihadapan pemimpin, tentu rakyat harus hormat takdzim atas kebijakan-kebijakan selama tidak menyalahi dan menyakiti rakyatnya.

Maka menjadi benarlah uraian yang didedahkan dalam sebuah hadis, manakala seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ma Huwa Diin?” Maka Rasul menjawab, “Khusnul Khuluq”.

(Source: Www.pesantrenpenulis.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar