Jumat, 09 Juni 2023

Bersama Mas Pram


Dari kecil di zaman Belanda, saya sudah tahu bahwa bapak saya guru. (Page 3)

Saya punya Mas Pram yang waktu itu ada di Surabaya, yang "sekolahnya tinggi", sekolah radio. (Page 4)

Sering kami disuruh ramai-ramai baca Kulhu empat puluh kali. Kadang enam puluh kali. Sampai tertidur. (Page 8)

Mas Pram telah menjadi tentara, lalu tertangkap Belanda dan menjadi tawanan. Di masa ini pula kami mendengar bahwa Mas Pram menjadi pengarang. (Page 14)

Pak Ijas dan Bu Ijas muslim dan muslimah yang saleh. Mereka bangun sesudah subuh, mengambil air wudhu dan bersembayang, dan sudah itu membuka warung di sela-sela ngupi (minum kopi sambil makan kue kecil), dan nyetel radio. Sepagi itu sudah ada saja orang berbelanja. Maka di tengah ngupi, Pak Ijas melayani pembeli, sampai semua terlayani, lalu kembali ngupi, dan begitu seterusnya sepanjang hari, sampai pukul 8 atau 9 malam, diselingi makan siang dan makan malam. Seraya melakukan semua hal itu, Pak Ijas mendengarkan siaran radio, terutama warta berita pukul 6 dan pukul 7 pagi. (Page 80)

Sekitar pukul 06.00 kami sudah berangkat ke sekolah. Pelajaran berlangsung dadi pukul 07.15 sampai pukul 13.00. Kami sampai di rumah kembali sekitar pukul 14.00, (Page 90)

Dan menunggu kedatangan Mas Pram dari kantor (Penerbit Balai Pustaka). Seperti sudah saya katakan, waktu itu disiplin pegawai negeri masih baik, yaitu tutup kantor pukul 14.00. (Page 90)

Sekitar pukul 15.00 kami harus tidur siang, dan pukul 17.00 harus belajar sampai pukul 20.00. Dalam masa belajar itu kadang-kadang ada kesempatan untuk mendengarkan radio. Dan pukul 21.00 kami harus mapan tidur. (Page 92)

Sekolah kami adalah gedung kedua yang memanjang ke belakang di samping rumah Pak Said. (Page 97)

Dengan membaca buku itu saya merasa memiliki 1 harta besar yang tidak diketahui oleh teman-teman sekolah saya, sehingga saya merasa lebih kaya dari mereka. Selesai 1 buku, saya ingin membaca buku lainnya, dan begitulah terus-menerus, sehingga makin banyak buku yang saya baca, semakin saya lebih kaya daripada teman-teman saya. (Page 130)

"Jangan cuma dibaca. Kalau habis baca, mesti bisa juga ceritakan kembali!" Mas Pram. (Page 130)

Saya senang sekali bisa mengambil brosur itu, karena dengan demikian saya mulai memiliki buku sendiri yang bukan buku pelajaran. (Page 135)

Saya (dan kami semua anak Jawa) dari kecil diajari menerima tamu dengan baik. (Page 142)

Pada waktu jatuh saat sembahyang maghrib dan isya, Mas Pram biasanya berhenti mengetik beberapa waktu, untuk kemudian dilanjutkan lagi sampai sekitar pukul 21.00. Sesudah pukul itu ia membaca buku, biasanya sambil tiduran. (Page 143)

Mas Pram tidak pernah saya liat main badminton, pingpong, apalagi tenis. (Page 151)

Jadi, pukul 04.30 saya sudah berangkat mengayuh sepeda ke Stasiun Gambir, menitipkan sepeda itu, lalu menjajakan buku (Gulat di Djakarta) kepada para penumpang. Tidak 1 pun terjual selama berhari-hari saya menjajakan itu, (Page 174)

Saya menjajakan buku itu bukan hanya di kereta api, melainkan juga ke toko-toko buku, (Page 174)

Kalau saban hari saya buka kamus, lama-lama semua kata Inggris akan saya lihat artinya, dan saya jadi tahu bahasa Inggris. (Page 180)

Menerjemahkan karya tulis apapun, di bidang apapun, adalah penting kalau suatu bangsa ingin maju dan tidak ketinggalan dari bangsa-bangsa lain. (Page 182)

Saya sempat bertanya kepada Mas Pram berpa jumlah bukunya, dan dia jawab 20.000. (Page 309)

Sebelum pergi ke Moskwa, saya telah mengoleksi 2.000 buku, majalah, dan brosur dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris, dan itu saya titipkan di perpustakaan Mas Pram. (Page 310)

Pada suatu hari Mas Pram pun menikahkan anaknya di penjara Gang Tengah. Itulah yang sebaik-baiknya. (Page 331)

Mas Pram meninggal tanggal 30 April 2006 hari sabtu pagi, pukul 08.55. (Page 421)

Kini tercantum prinsip pendidikan yang baru: Belajar, bekerja, dan berdoa. (Page 464)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar