"Aku tak akan singgah di Hotel Bel-Air dan Hotel Beverly Hills sampai masalah ini terselesaikan," pembawa acara kondang Ellen DeGeneres menulis di akun Twitter miliknya tiga pekan lalu. Ada masalah apa antara Ellen dan dua hotel mewah tersebut?
Jika ingin menginap di salah satu jaringan Hotel Dorchester ini, paling tidak kita harus merogoh kantong Rp 8 juta untuk kamar paling murah per malam. Tapi, jika membaca pengalaman mereka yang pernah menginap di Hotel Bel-Air, harga itu sepertinya sepadan dengan yang mereka peroleh. Jadi bukan soal mutu yang membuat Ellen, aktor Hollywood Stephen Fry, bintang televisi Jay Leone, dan sejumlah selebritas di Amerika enggan menginap.
Mereka ogah singgah di semua jaringan Hotel Dorchester karena ada satu nama di daftar pemiliknya, yakni Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Penguasa Brunei Darussalam itu memiliki Dorchester Collection lewat perusahaan investasinya, Brunei Investment Agency (BIA). "Tak ada karyawan Virgin, juga keluarga kami, yang akan menginap di Hotel Dorchester hingga Sultan menghormati hak-hak asasi manusia," Richard Branson, miliarder Inggris dan bos grup Virgin, ngetweet Sabtu dua pekan lalu.
Semua bermula dari hukum syariah bagi para pelaku kriminal yang ditetapkan Sultan Hassanal mulai 1 Mei lalu. "Hari ini...aku menetapkan keyakinan untuk mengumumkan bahwa mulai Kamis, 1 Mei 2014, kita akan menyaksikan penerapan hukum syariah tahap pertama, dan akan diikuti fase berikutnya," kata Sultan Bolkiah.
Pada tahap pertama selama setahun, pelaku kriminal dan pelanggar syariah di Brunei hanya akan menjalani hukuman denda serta penjara, misalnya mereka yang dianggap tak menghormati bulan Ramadhan, berbusana tidak sopan, dan melewatkan salat Jumat tanpa alasan yang kuat. Berdasarkan hukum syariah ini, mereka yang berperilaku dan berbusana tak pantas harus membayar denda maksimum US$ 2.000 atau Rp 22 juta, hukuman penjara paling lama enam bulan, atau keduanya sekaligus.
Pada awal April lalu, Kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia meminta Sultan Bolkiah menunda penerapan hukum syariah itu dan mengkaji kembali niatnya. "Menurut hukum internasional, hukum melempari batu hingga mati dan segala bentuk hukuman lain yang kejam dan tidak manusiawi dilarang," kata juru bicara Kantor Komisi Tinggi HAM, Rupert Colville. Selain hukuman yang dinilai tak manusiawi, Kantor Komisi Tinggi khawatir penerapan hukum itu akan membuka pintu diskriminasi perempuan.
Di luar sangat heboh, tapi di dalam negerinya justru masih adem ayem. "Marilah jangan hanya melihat tangan dipotong atau hukuman rajam sampai mati. Kami tidak akan sembarangan main potong tangan, merajam, atau mencambuk. Ada syarat dan metode yang adil dan fair," kata Mufti Awang Abdul Aziz.
Hukum syariah di Brunei, menurut Mufti Awang, juga tak perlu membuat turis asing jeri berkunjung. "Apakah mereka datang ke Brunei dengan rencana mencuri? Jika tidak, apa yang harus ditakutkan? Percayalah kepada saya, dengan penerapan hukum syariah ini, warga, termasuk turis, akan diberi perlindungan," kata sang ulama.
Putra Mahkota Brunei, Pangeran Al-Muhtadee Billah, mencoba menenangkan suara-suara miring soal penerapan hukum potong tangan di negaranya. "Anggapan bahwa hukum syariah itu kejam adalah pikiran yang salah." Menurut Pangeran Al-Muhtadee, hukum syariah juga menjadi pintu untuk belajar agama.
Noruzanna Sabeli, staf di Kementrian Pendidikan Brunei, berharap penerapan hukum potong tangan dan rajam ini bakal mengurangi angka kejahatan. "Jika orang tahu hukumannya, mereka tak akan berani mencuri," kata Sabeli. "Jika hukumannya hanya dipenjara, pelaku cuma perlu masuk penjara, dapat makan gratis dan keluar lagi, kemudian bisa mengulangi kejahatannya kembali."
Supaya penerapan hukuman ini tak membingungkan, Sultan Bolkiah sudah memerintahkan dibentuknya tim pemantau. Sultan juga meminta semua kantor pemerintah berhati-hati menerapkan hukuman. "Jika tidak, kita akan dianggap tak kompeten dalam menerapkan hukuman atau kita akan membuat banyak kesalahan.... Kita harus bergerak cepat, mengoreksi semua kesalahan," Sultan Bolkiah berpesan.
Dia memberi contoh, "Jika ada dua orang perempuan, satu mengenakan celana pendek selutut dan satu lagi mengenakan baju kurung tapi tanpa kerudung, mana yang dianggap tidak sopan?" Sultan Bolkiah juga meminta kejelasan soal larangan bagi warga nonmuslim menggunakan kata-kata azan, Baitullah, Al-Qur'an, Allah, fatwa, firman Allah, haji, ilahi, Ka'bah, mufti, kiblat, masjid, salat, dan imam. Pelanggaran akan didenda maksimal US$ 4.000 atau sekitar Rp 45 juta atau satutahun penjara.
"Jadi, salahkah jika warga nonmuslim berkata,'Aku ingin pergi ke Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien' atau 'Aku ingin bertemu mufti?'" tanya Sultan Bolkiah kepada Mentri Agama Mohammad Pg Hj Abd Rahman di Istana Nurul Iman pekan lalu. Beberapa pasal dalam hukum itu memang masih agak"abu-abu".
Pastor Robert Leong masih agak kurang paham dengan sejumlah aturan. Dia khawatir pembaptisan bayi bisa jadi satu pelanggaran salah satu pasal, yakni larangan penyebaran agama selain Islam kepada warga muslim atau mereka yang tak memiliki agama. Untuk sementara, tak ada acara pembaptisan di gerejanya. "Tak ada yang bisa aku lakukan. Kita tunggu saja dan lihat apa yang terjadi," kata Pastor Robert.
Supaya warga Brunei tak kaget dan marah, Hardifadhillah Hj Mohd Salleh, staf senior di Bagian Hukum Islam Kementrian Agama Brunei, mengatakan perlu kebijakan dalam penerapannya. "Jika kita memaksa penerapan hukuman ini secara drastis, malah akan muncul penolakan," kata Hardifadhillah.
Judul Asli: Potong Tangan Maling di Brunei
Sumber : Majalah Detik 12 -18 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar