Selasa, 24 Juni 2025

KARNI ILYAS


Sumber utama penulisan buku ini adalah Karni Ilyas sendiri. Saya melengkapi ceritanya dengan riset kepustakaan membolak-balik surat kabar dan majalah tahun 1970-an hingga 1990-an. (Page x)

Jika ada sebuah buku yang ingin anda baca, tetapi buku tersebut belum ada yang menulisnya, maka andalah yang harus menulis buku itu. (Page xi)

Bagi saya setiap berita harus diburu untuk mendapatkannya. Tidak ada istilah jauh, hujan, atau sulit narasumbernya. Seorang reporter wajib ketemu narasumber yang ditugaskan kepadanya. (Page xiv)

Kalau koran habis, saya bisa pulang naik kereta api. Tapi, kalau banyak yang tidak laku, saya terpaksa berjalan kaki sembilan kilometer lagi. Saya bisa melakukan itu sambil tetap berpuasa. (Page 17)

Hidup berhemat sambil bekerja, bahkan mengurus diri sendiri mulai dari mencuci, menjemur, hingga menyetrika pakaian sendiri, dan masih harus belajar, bukan halangan bagi Karni. (Page 30)

Jangankan berlalu-lalang di dalam ruang sidang, duduk dengan kaki menyilang juga dilarang. (Page 47)

Pemberitaan pers adalah bagian dari akuntabilitas aparatur penyelenggara negara kepada publik. (Page 65)

Kalau saya nanti bisa ke luar negeri, negeri yang ingin saya kunjungi pertama kali adalah Mekkah. (Page 67)

Saya sampaikan, 'Pak Moedjono, tidak hanya atlet, semua profesi bisa terima suap termasuk profesi saya.' (Page 105)

Alih teknologi yang didambakan, tanpa perlindungan terhadap hak paten, adalah sia-sia. (Page 147)

"Allah telah menganugerahkan otak kepadamu, sayang kalau tidak dipakai," itu pesan Karni kepada si penulis. (Page 176)

Sering pula seorang pejabat meradang dengan menuduh wartawan telah mengadu domba sesama pejabat. Padahal, yang terjadi ternyata wajar-wajar saja. Si pejabat melontarkan ide atau gagasan yang menarik bagi masyarakat banyak. Selayaknya, untuk menguji benar tidaknya gagasan itu, si wartawan kemudian meminta tanggapan dari pejabat lain dan pakar lain. Si pejabat atau pakar lain menyerang pendapatnya tersebut. (Page 220)

Buat Karni Ilyas, 14 tahun menjadi wartawan di majalah Tempo adalah pengalaman yang tak terlupakan. Tempo mengajarkannya menulis dengan runtut, dan mengujinya dengan berbagai liputan yang membuatnya menemukan kualitas dirinya sebagai wartawan. (Page 226)

Pers Indonesia pernah mengalami saat-saat yang sulit sekali mengungkapkan fakta-fakta di dalam pemberitaannya. Saat-saat di mana semua institusi (sekitar 1970-an sampai awal 1980) merasa berwenang menghimbau atau menelefon pemimpin redaksi agar tidak termuat dalam sebuah berita. (Page 234)

Hukum telah mati. Hukum bukannya semakin lama semakin berwibawa dalam mengatur hidup kita bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, tetapi justru semakin hari semakin dilecehkan. (Page 250)

Bagi mereka, siapa saja boleh menjadi presiden, hanya dengan harapan presiden mendatang lebih bisa menyejahterakan kehidupan tidak hanya rakyat di kota, tapi juga sampai ke desa-desa mereka. (Page 276)

Benar-benar Tuhan itu menuntun saya. Bahkan rasanya bukan hanya menuntun, tapi juga melindungi. (Page 296)

Banyak redaktur begitu punya mobil, rada malas. Sudah berada di comfort zone. Karni enggak. Justru jabatannya itu dia gunakan untuk memperkuat lobi dan menghasilkan berita-berita eksklusif. Bahkan dengan turun tangan langsung! (Page 346)

Di mana pun anda, intervensi itu ada. Sekarang adalah bagaimana seorang jurnalis melakukan tawar-menawar untuk itu. Jangan mimpilah media itu bisa steril dari intervensi. (Page 351)

Begitulah 'penyakit' wartawan yang sudah ada dari dulu, bahkan sekarang lebih parah. Melihat pejabat itu kok kayak ketemu atasannya. Saya enggak mau begitu. Saya enggak pernah mau wawancara rame-rame. (Page 355)

Karena itu saya berniat membangun sebuah sekolah di negeri ini. Saya sangat yakin bahwa kurangnya pendidikan menyebabkan kebodohan. Kebodohan menyebabkan kekufuran. Jadi, untuk memerangi kekufuran, maka pendidikan harus kita majukan. (Page 387)

Mulailah bermimpi. Bermimpi itu halal. Jadi bupati, jadi gubernur, jadi menteri agama, jadi presiden sekalipun, bahkan jadi seperti Karni Ilyas. Tapi kembali, sekali lagi saya ingatkan: syaratnya kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. (Page 387)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar