Tengah malam di Dusun Beroangin, Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, pertengahan Januari 2011. Suasana nyaris gelap sempurna. (Page V)
Barangkali hanya di Pulau Rupat, Bengkalis, Musabaqah Tilawatil Quran digelar di desa yang penghuninya mayoritas non-Muslim. (Page 1)
Anak-anak menggantungkan kertas bertuliskan cita-cita di langit-langit yang tidak terjangkau. (Page 11)
Salah satu tembok penghalang yang menghambat kita untuk maju adalah ketika kita berhenti bermimpi. (Page 35)
Di Bibinoi, kampung Islam dan Kristen hidup berdampingan secara damai. Perbedaan yang ada di antara mereka tidak jadi penghalang. Perbedaan justru menjadi mozaik-mozaik yang membentuk persaudaraan. (Page 55)
Seringkali peristiwa-peristiwa penting untuk sebuah peradaban di dunia dipicu dari sebuah peristiwa sederhana. (Page 75)
Lewat permainan drama, anak-anak dengan latar belakang berbeda akhirnya bisa berbaur dan bekerja sama. (Page 95)
Namun, dia punya satu hal istimewa: konsisten mengejar mimpinya. (Page 121)
Seberapa besar Pulau Bengkalis? Dia pasti lebih besar dari Indonesia. Begitulah anak-anak di Bengkalis menerka-nerka tentang ukuran pulau tempat mereka tinggal. (Page 147)
Jejak pembangunan nyaris tidak terasa di Desa Indong. (Page 159)
Mengayuh payah di jalan bertanah
Mengejar sampai waktunya walau lelah
Ini bukan sekadar soal anak-anak bercelana merah,
Tapi soal masa depan Indonesia sang tumpah darah (Page 181)
Berawal dari urusan perpindahan tempat duduk, anak-anak belajar tentang bagaimana membuat keputusan secara demokratis. (Page 195)
Udara cerah Borneo memberi saya semangat untuk mengenal wajah masyarakat pulau itu lebih jauh. (Page 209)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar