Jumat, 20 Desember 2024

GUS DUR

Pengabdian tidak perlu dengan kedudukan apa-apa. Orang mengabdi bisa dalam kapasitas bermacam-macam, sama saja. Tergantung orangnya. (Page 5)

Dalam websitenya Sapto Anggoro menjelaskan dan menggambarkan seperti apakah kota Jombang itu lebih detail lagi : "Tahukah anda apa itu Jombang. Kota ini diyakini bentukan dari 2 kata ijo (hijau, yang bermakna kesuburan) dan abang (merah, yang bermakna berani, dinamis, atau sikap kritis)." (Page 22)

Silsilah Gus Dur adalah sebagai berikut.

1. Dari pihak ayah : Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) > Djoko Tingkir (Karebet) > Pangeran Banawa > Pangeran Sambo > Ahmad > Abd. Jabar > Soichah > Lajjinah > Winih > Muhammad Hasyim Asy'ari > Wahid Hasyim > Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gus Dur).

2. Dari pihak ibu : Brawijaya ke VI (Lembu Peteng) > Djoko Tingkir (Karebet) > Pangeran Banawa > Pangeran Sambo > Ahmad > Abd. Jabar > Soichah > Fatimah > K. Hasbullah > Nyai Bisri Syansuri > Solichah > Abdurrahman Wahid Ad Dakhil (Gus Dur). (Page 25)

Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. (Page 27)

Di kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin melesat jauh. Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak toko buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik sang bapak kos. Di sinilah Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi toko buku secara rutin. (Page 32)

Gus Dur merasa banyak hal yang diulang dalam studinya di Mesir, sehingga ia begitu enggan melakukan studi formalnya, dan sering tidak masuk sekolah. (Page 34)

Sejak masa mudanya Gus Dur sudah mulai belajar bekerja. Hal itu dilakukan pada saat ia nyantri di Pesantren Tambakberas milik K.H. Wahab Hasbullah. Di pesantren inilah Gus Dur pernah belajar menjadi tenaga kerja pengajar, lalu dilanjutkan pernah belajar menjadi pemimpin sekolah atau kepala sekolah di madrasah modern yang dimiliki oleh pesantren tersebut. (Page 37)

Kala itu, Nuriyah sering menolak pemberian buku dari pemuda bernama Gus Dur. Walaupun permulaannya tidak begitu mulus, hubungan mereka menjadi lebih dalam karena korespondensi yang teratur itu, (Page 39)

Kontroversinya berlanjut ketika Gus Dur secara ajaib menjadi Presiden RI Ke-4. Selama menjabat presiden ia sering pergi ke luar negeri yang menurutnya bertujuan untuk meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia adalah negeri aman dan cocok sebagai lahan investasi, dan meyakinkan bahwa kaum minoritas china dan minoritas agama dihormati. Namun, publik menyerangnya karena tidak ada hasilnya ia ke luar negeri, dan banyak biaya yang keluar ketika ia melakukan tour ke luar negeri. (Page 125)

"Mana mungkin Presiden Amerika baca buku? Kalau dia baca buku berarti kelihatan dia nggak punya kerjaan. Nah, kalau Presiden Indonesia justru harus baca buku, sebab nggak ada kerjaan." Gus Dur (Page 136)

Mengenai Gus Dur, di halaman 25 buku itu misalnya (KORUPSI KEPRESIDENAN: REPRODUKSI OLIGARKI BERKAKI TIGA, ISTANA, TANGSI & PARTAI PENGUASA), George Junus Aditjondro menulis, "Memang, rezim Gus Dur patut diberikan jempol karena berani mengambil langkah-langkah menegakkan supremasi sipil dan mulai mengadili Soeharto. Namun, dalam hal membiarkan nepotisme keluarga Wahid serta kroniisme para pendukungnya dari lingkungan NU dan PKB, Gus Dur belum banyak bergeser dari tradisi Soeharto." (Page 187)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar