Kamis, 31 Januari 2019

VIEW OF LIFE


Berikut adalah penjelasan dari gambar diatas tentang "VIEW OF LIFE" atau "PANDANGAN HIDUP" manusia,

1. Terlalu banyak harta, hidup kita akan terlalu merasa tinggi. Pandangan seringkali terhalangi oleh kesombongan & kenikmatan yang berlebih.

2. Berilmu namun hanya untuk diri sendiri seringkali membuat kita tidak mampu untuk berbuat lebih. Berharap berbuat sesuatu yang lebih besar namun tidak mampu dan terbatas karena ketiadaan sumber daya lainnya.

3. View terbaik saat kita menjalani hidup adalah dengan memiliki pengetahuan & kelapangan harta yang cukup.

4. Lalu, tidak memiliki keduanya (ilmu & harta) hanya akan membuat kita buta dan tertinggal dalam menjalani hidup, tanpa mampu menikmatinya.

Senin, 28 Januari 2019

MENGIKAT MAKNA Selamanya



“Kalu memang yakin, ungkapkan saja rasa cinta itu padanya. Cinta itu anugerah Tuhan. Rasakan dan nikmati saja,” (page 33)

Beliau tidak pernah mengkritik tulisan karena sajatinya tulisan adalah karakter individu. (page 42)

Ia selalu membawa spirit Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” (page 43)

Pak Hernowo mengajari kami untuk terus menulis, 5 menit setiap hari … bahkan saat sedang tidak ada yang ingin dituliskan. (page 59)

“Menulis sampah” yang Pak Her katakana, bisa menenangkan hati dan pikiran. (page 59)

 Membaca adalah cara orang bersekolah secara mandiri. (page 83)

Ia juga menuangkan kekagumannya pada Malcolm Gladwell – seorang penulis yang mencetuskan ide berlatih selama 10 ribu jam agar orang bisa menjadi ahli dalam segala hal. (page 84)

Sebagai bukti bahwa beliau selalu bercumbu dengan buku adalah selalu diikatnya kembali melalui tulisan. Dan, hasil ikatannya tersebut, pasti akan di-share-nya di grup. (page 88)

Jujur, saya kaget, belajar menulis online kepada orang sekelas beliau tergolong sangat murah. (page 95)

Beliau tak menyuruh kami mencatat aneka teori, tapi meminta kami untuk mulai memiliki buku diari. (page 100)

Bagi saya, menulis adalah membuang beban, membuang sampah di pikiran, dan tempat curhat terbaik. (page 109)

Bagi saya, buku dan tulisan adalah sahabat terbaik pada saat senang dan sedih saya. (page 109)

Dalam menyampaikan ilmunya, beliau tidak pernah menggurui. Cara beliau adalah dengan menceritakan pengalaman dan apa saja upaya yang telah beliau lakukan. (page 111)

Membaca adalah kata kunci dari seluruh elemen pembangunan peradaban manusia. (page 118)

Mengutip pesan Walt Disney, Buku adalah ‘kekayaan’ (page 120)

Tepatnya, “Cara Paling Awal Mempelajari Al-Qur’an”, terjemahan dari tulisan Syekh Ragip Frager. Sang Syekh menuturkan ilmu yang diajarkan oleh gurunya, Safer (Muzaffer) Effendi, mengenai cara-cara paling dasar untuk mempelajari Al-Qur’an. Sang guru mengajarinya untuk membiasakan diri mencari ayat-ayat yang memiliki makna khusus untuknya. (page 123)

Satu-satunya kemewahan yang dimiliki dan menjadi hak tiap pribadi adalah kebebasan berpikir ini. (page 131)

Karut-marut negeri ini membutuhkan ide-ide segar (output) dan penerapan segera, agar berbagai persoalan nasional berangsur tuntas. (page 132)

Minggu, 27 Januari 2019

Eka Tjipta

Oleh Dahlan Iskan


Janganlah melihat orang hanya saat suksesnya. Lihat juga perjuangan menuju sukses itu.

"Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Saat menulis naskah ini. Untuk menandai meninggalnya konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Pada usianya yang 98 tahun. Pukul 17:00. Sabtu lalu."

Saya sudah sangat lama tidak bertemu beliau. Beliau memang sudah sangat lama tidak aktif.

Semua bisnis sudah diserahkan kepada anak-anaknya. Yang ternyata sangat mampu. Menjadikan grup Sinar Mas tetap yang terkaya di Indonesia.

Dari anaknyalah saya sesekali mendengar kabar tentang beliau. Misalnya saat beliau sakit. Atau saat baru sembuh. Setelah ganti seluruh tulang pinggulnya.

Pada usia 98 tahun baru meninggal. Betapa panjang usianya. Betapa jarang laki-laki yang bisa mencapai usia itu.

Saya masih bisa bertemu anaknya: Franky Wijaya. Yang menjadi pengendali grup usahanya. Atau Teguh Ganda Wijaya. Bos besar usaha bidang kertasnya. Yang menguasai dunia. Sering juga bertemu anaknya yang lain. Dari istri yang lain. Chandra, pemilik real estate besar di Surabaya: Pondok Chandra Indah.

Dengan Franky saya sesekali bertemu. Dalam bakti sosial Budha Tzu Chi. Sebuah agama yang melarang umatnya membangun rumah ibadah. Juga melarang umatnya sembahyang. Sembahyangnya adalah berbuat baik. Pada orang lain. Terutama pada orang yang lagi susah. Tempat ibadahnya adalah daerah-daerah miskin.

Agama itu berpusat di Hualian, pantai timur Taiwan. Saya sudah pula ke sana. Bersama Franky.

Franky sudah jadi konglomerat. Tapi tetap angkat-angkat karung saat bakti sosial.

Agama ini juga punya jaringan stasiun TV DAAI (baca: Ta Ai). Yang hanya menyiarkan kebaikan.

Saya beberapa kali bertemu Pak Eka Tjipta Widjaja. Di Jakarta atau di Surabaya. Pernah juga menjadi moderatornya. Saat beliau didaulat menjadi pembicara. Dalam sebuah seminar enterpreneur.

Saya juga pernah menulis satu buku kecil tentang Pak Eka. Yang terbit 30 tahun lalu. Saat umur saya masih 40 tahun. Dan usia Pak Eka masih 70 tahun.

Saya tidak pernah lupa cerita beliau. Tentang awal-awal memulai jadi pengusaha. Bahkan awal kehidupannya di Makassar. Saat umurnya baru 9 tahun.

Pada umur sekecil itu Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya. Yang sudah lebih dulu ke Makassar.

Sang ayah waktu itu sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia.

Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya.

Yang ia pilih adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Ia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih 'jemput bola' ke rumah konsumen.

Masih kecil. Hanya bisa bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda.

Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari kelas satu.

Eka tidak mau. Ia ingin langsung kelas tiga. Ia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak umur 7 tahun. "Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi kaki itu," ujar Eka.

Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas.

Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.

Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. "Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana cukup," katanya mengenang.

Sampai-sampai guru menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah. "Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak," bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.

"Tidak bisa. Ampun," teriak Eka.

"Nah begitu juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik," ujar sang guru. Seperti yang diceritakan Eka.

Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.

Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.

Setamat SD Eka mendatangi grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah biskuitnya laku.

Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih anak-anak.

Eka lantas menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit.

Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan penuh.

Eka lantas bisa membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng.

Omsetnya baru naik ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa 18 kaleng.

Eka membayar tukang becak. Lima gulden sebulan.

Dalam empat tahun ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden.

Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden.

Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng.

Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.

Sambil mencari tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak akan bisa diterima bank.

Tahun 1941 Jepang masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang menang tender.

Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa dikerjakan. Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai Losari.

Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang. Barang-barang dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.

Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang. Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes.

Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan warung di dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.

Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi.

Ayam putihnya itu tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.

Ia kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. "Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang," guraunya.

Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis.

Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan yang menggunung itu.

Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.

Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi.

Persoalannya: terigu bekas harganya murah.

Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru.

Ia beli jarum di toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.

Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup.

Lalu ia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan. Kuburan Tionghoa.

Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri 'saham' 20 persen. Hasilnya menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. "Bagian depan makam dekat bandara Makassar itu saya semua yang bangun," katanya.

Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.

Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000. Stock rongsokannya pun habis.

Eka lantas ingin bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng: Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh untuk ke sana.

Ia pun berangkat. Semua tabungan dibawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli secara utang. Harus kontan.

Di Selayar ia bisa kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena membayar kontan.

Ia mabuk. Tidak mampu berdiri.

Pun waktu kapal sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama. Sebelum bisa berjalan tegak. "Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali," katanya.

Baru beberapa hari di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp 1,5/liter.

Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya.
Masih muda sudah merasakan 'jatuh' dua kali.

Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi sulit mendapatkan roti. Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti.

Hari itu ia sangat ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah.
Tetap tidak diberi. Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya.

Ia ngeloyor pulang. Hatinya mendidih. Dendam. Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti.

Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh untuk istrinya. "Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya," katanya bergurau.

Langsung ia tawarkan gaji dua kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu.

Eka tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar gaji yang sebulan itu.

Pabrik rotinya maju.
Tapi sulit mendapatkan gula.
Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg.

Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari.

Eka menjadi kaya kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.

Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.

Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.

Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.

Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting. Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.

Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggaannya. Ia kembali naik sepeda.

Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke mukanya.

Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Ia memang gemar membaca.

Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.

Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet.

Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri. "Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang. Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri," pikirnya.

Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.

Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.

Setelah lewat dua bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi. Utangnya pun lunas.

Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan pun terbuka. Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong. Setelah mengirim tentara ke Manado.

Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Ia jual di Makassar. Dengan harga tinggi.

Jadilah Eka pedagang kopra. Ia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia kuasai.

Ia pun sudah berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta. Jaringan dagangnya kian luas.

Suatu saat ia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal besar dari Jakarta. Untuk ukuran saat itu.

Ketika kapal tiba pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3 ribu ton ia tinggal. Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa dirinya.

Eka bangkrut untuk keempat kalinya.

Ia tidak mau lagi tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang memungkinkan bisnis berkembang.

Di Surabaya Eka ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Ia hanya membawa modal kepercayaan. Dan nama baik.

Ia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diijinkan pula mengisi kapal tentara dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan makanan. Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25 persennya.

Di Surabayalah Eka berkembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.

Waktu saya berumur 40 tahun saya bertanya pada Pak Eka: Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat akan bangkrut lagi. Untuk kelima kalinya.

"Sekarang sudah tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut," katanya.

Itu tahun 1992. Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.

Saat itu Pak Eka sudah menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak gorengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah merambah ke segala arah.

Saya pernah ke Ningbo. Sudah ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah ada pabrik kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar langitnya sangat menonjol di pusat kota Shanghai.

Waktu mengucapkan 'tidak mungkin lagi bangkrut' kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal terjadi krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.

Yang menagih pun sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus setuju. Caranya maupun pembagian hasil penagihannya.

Sampai-sampai utang itu distensil. Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.

Memang Sinar Mas sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut.

Sabtu lalu Pak Eka meninggal dunia. Meninggalkan semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran bisnis yang luar biasa berharga.(dahlan iskan)

(Source: Https://www.disway.id/eka-tjipta)

Kamis, 24 Januari 2019

PAK BEYE DAN POLITIKNYA


SBY dikenal sebagai "Jendral Pemikir" karena kegemarannya mengakrabi buku berbagai subyek, yang diperkuat dengan berhasilnya meraih gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor. (Page IX)

Moto pemerintahannya adalah state that never sleep. (Page 158)

Karena apa yang saya alami itu gratis tanpa biaya, saya juga ingin membagikan apa yang saya alami itu secara gratis juga alias cuma-cuma. (Page 233)

Bukankah pasang surut hubungan kerap menjadi pemerkokoh ikatan dan penumbuh keyakinan akan kemampuan mengatasi tantangan di depan? (Page 255)

Untuk sebagian orang yang jeli, pasar loak bisa menjadi tambang emas, bahkan berlian. (Page 358)

Dari tahun ke tahun, hidup para petani di desa-desa adalah hidup dalam keberimanan karena harapan yang selalu mereka pegang di awal hingga akhir musim tanam. Begitulah berulang-ulang terpatri dalam penghayatan keseharian. (Page 378)

Jadi, terhadap irregularities voting itu sikap terbaik menurut Pak Beye adalah menerima saja sambil menatap ke depan dengan semangat perbaikan. (Page 423)

Rabu, 23 Januari 2019

MEMBACALAH AGAR DIRIMU MULIA



Aku tulis risalah ini dengan ber-“aku-aku” agar siapa pun yang membacanya dapat melibatkan dirinya. (Page 12)

Manusia yang membuat buku (mau dan mampu menulis) dapat dikatakan sebagai manusia terpilih karena sesungguhnya memang tidak mudah untuk menuangkan sebuah pengalaman hidup dalam kalimat-kalimat yang tertata dan dapat dipahami oleh orang lain. (Page 14)

“Buku bagi Lintang adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angina setiap hari.” ANDREA HIRATA (Page 23)

Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. (Page 28)

Ketika seseorang membaca, dia sesungguhnya sedang menyiapkan sel-sel saraf otak baru yang akan menggantikan sel-sel saraf otak lama yang aus. (Page 36)

Televise akan menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak terutama kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan. (Page 36)

Efek televise yang menakutkan pada saat ini adalah membuat orang hanya punya waktu sedikit untuk membaca, (Page 38)

Membaca sangat merangsang kedua belah otak dan juga sistem limbik. (Page 38)

“Kemauanlah yang menjadikan manusia itu manusia-besar atau manusia-kecil.” HEINRICH HEINE (Page 47)

Kegiatan membaca yang menghasilkan adalah kegiatan membaca dalam bentuk mencerna dan kemudian usai membaca, si pelaku membaca melanjutkan kegiatan “mengikat makna” (yaitu menuliskan hasil-hasil yang diperolah dari kegiatan membaca). (Page 54)

Aku harus merasa tersiksa jika ada waktu luang dan aku tidak melakukan kegiatan membaca. (Page 74)

SETIAP KALI SELESAI MEMBACA, HASILKANLAH SEBUAH TULISAN. (Page 79)

Manusia tidak akan menjadi manusia jika tidak mampu membugarkan dan mengembangkan otaknya secara terus-menerus. (Page 92)

Selasa, 15 Januari 2019

Mengikat Makna


Tak ada kata mentok bagi makhluk yang bernama manusia. (page 31)

Membaca dan menulis, insya Allah, dapat mengantarkan kita menuju kebahagiaan hidup. (page 31)

Hanya dengan menguji teori lewat pempraktikanlah sebuah teori itu bermanfaat atau tidak di dalam rimba raya kehidupan. (page 51)

Kesabaran diperlukan saat membaca karena bila tergesa-gesa dalam memaknai suatu gagasan, bisa jadi kesimpulannya salah. (page 61)

Kegigihan akan mendorong anda agar tidak sekali baca sudah itu mati, artinya anda bias jadi perlu mengulang pembacaan hingga lebih dari sekali. (page 61)

Apabila saya (Beethove) tidak segera mencatat temuan-temuan saya, saya tentu akan melupakan begitu saja. Apabila saya mencatatnya, niscaya saya tidak akan pernah melupakannya, dan tak perlu lagilah saya melihatnya. (page 64)

Hapalkanah, tetapi terutama sekali tuliskanlah. (page 66)

Writing is a lonely profession. (page 71)

Saya berpendapat, anak-anak, sejak dini, perlu dijejali dan diiming-imingi sebanyak-banyaknya “makanan ruhani”. (page 74)

Aktivitas membaca buku akan amat efektif bila disertai menuliskan hal-hal penting yang ditemukan di sebuah buku. (page 79)

Setiap diri membawa seabrek potensi yang bila diekspresikan akan membuahkan satu lukisan yang beraneka warna. (page 136)

Kita semua adalah campuran dari banyak karakteristik gaya. (page 136)

Pembiasaan baik membaca yang dipupuk sedikit demi sedikit disertai kesabaran tinggi akan membuahkan suatu kegemaran (page 175)

Write your wrongs! (page 178)

Ibarat anda buang hajat besar lantaran kekenyangan, seseorang akan gampang mengungkapkan apa saja yang diingininya lewat tulisan bila “kekenyangan informasi yang diasyiki”. (page 178)

Banggakanlah diri anda dan rayakanlah kemenangan anda bila mampu mengungkapkan sesuatu secara tertata dan dalam kata-kata yang akurat serta kalimat-kalimat yang jernih. Apabila tulisan anda diminati untuk dipahami orang lain, itu berarti anda telah melakukan sesuatu yang mulia dan agung: membagikan kekayaan batin! (page 179)

Bagaimana saya mampu mengenali kemajuan-kemajuan yang saya peroleh? Cara paling efektif yang dapat saya tempuh adalah dengan menuliskan (lebih tepatnya: merumuskan) segala sesuatu yang saya pikirkan dan rasakan. (page 190)

Dengan membiasakan diri menguras pikiran kita setiap hari di lembar-lembar halaman bernama diary, insya Allah, kita akan diajak untuk memasuki wilayah penting: prigel (sangat terampil) menulis. (page 196)

Minggu, 13 Januari 2019

LOVE JOURNEY #2


Pasar adalah fenomena budaya, terbentuk secara perlahan dan mengental dalam sebuah spirit komunitas. (Page 35)

Saya ingat kalimat petuah dari seorang penulis catatan perjalanan, Louise Purwin Zobel, kamu harus mencoba mendengar, menginvestigasi, menginterpretasi, dan memahami. (Page 38)

Namun, perlu diingat bahwa perilaku tidak bisa dibatasi, namun bisa diarahkan. (Page 285)

Ilmu di dalam buku-buku itu bahkan jauh lebih berharga dari emas dan berlian. (Page 304)

Aku percaya bahwa selalu ada hikmah dalam setiap perjalanan. (Page 309)

Karena ibu tidak pernah punya prinsip untuk meminta pada anak-anaknya yang sudah bekerja, justru anak-anaknya yang mengerti sendiri. (Page 321)

Kamis, 10 Januari 2019

Mari Bergabung di Grup WA "WARGA RW 02"


Bagi Warga RW 02, yang belum bergabung di Grup WhatsApp "WARGA RW 02", Dusun Luwung, Desa Ganggangpanjang, bisa klik tautan berikut ini, monggo.

https://chat.whatsapp.com/GXUTHjsDWebEN2xQw0a0xk

Kamis, 03 Januari 2019

Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza



Namun, buku kadang memiliki gizi lebih dibandingkan dengan ceramah. (page 21)

Jadikanlah berkunjung ke toko buku sebagai agenda “piknik ruhani” agar benak anda disuplai oleh hal-hal yang benar-benar bergizi. (page 31)

Berusahalah sekuat daya untuk mematikan televise dan kemudian membacalah. (page 37)

We first make our habits, then our habits make us. (page 43)

Saya sangat merasakan sekali bahwa menulis dapat membebaskan diri saya dari kerangkengan apa pun. (page 76)

Mulailah dengan menulis hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaan mu sendiri. (page 83)

Memang, untuk lebih memperbagus dan memperkaya kosakata kita, kita harus mendampingi proses penulisan itu dengan membaca sebanyak-banyaknya buku. (page 83)

Dan saya mengikuti teori Carmel Bird bahwa cerita fiksi dapat dikembangkan dari cerita nyata. (page 105)

Sekolah pada masa depan akan berada di “jalan”: keluarga, pabrik-pabrik, LSM, perusahaan, dan lain-lain. (page 125)

Pengalaman abstrak dapat membuat seseorang terjerumus menjadi seorang plagiat! (page 138)

Pikiran yang berkembang baik, gairah belajar yang tinggi, dan kemampuan memadukan pengetahuan dengan kerja adalah kunci-kunci baru menuju masa depan. (page 140)

Yang paling penting adalah mereka (para guru) mampu menghadirkan kembali kegembiraan dalam proses belajar. (page 141)

Tangan yang digerakkan untuk menulis akan mampu mengalirkan sifat-sifat seseorang yang tersimpan di dalam pikiran dan perasaannya ke lembar-lembar kertas. (page 159)

Anak saya memerlukan idola yang “hidup”. (page 168)

Semua ilmu, sesungguhnya, senantiasa membawa hal-hal baru kepada para penuntut ilmu. Inilah keajaibannya. (page 179)

“Jangan gunakan paksaan, tetapi biarkan pendidikan awal menjadi sesuatu yang menyenangkan; dan anda akan lebih mudah menemukan bakat-bakat alam.” PLATO (page 203)

Selasa, 01 Januari 2019

Marlene Dietrich’s Marginalia

By Megan Mayhew Bergman


The actress Marlene Dietrich spent the last ten years of her life bedridden, in her apartment on Avenue Montaigne, in Paris, refusing to see old acquaintances and avoiding photographers. In her biography of Dietrich, her only daughter, Maria Riva, wrote that her mother’s legs “withered. Her hair, chopped short haphazardly in drunken frenzies with cuticle scissors, was painted with dyes.” She surrounded herself with a hot plate, telephone, scotch—and books.

She coped with isolation by running up a three-thousand-dollar-a-month phone bill and reading everything from potboilers to the pillars of the Western canon. She consumed poetry, philosophy, novels, biographies, and thrillers—in English, French, and her native tongue, German. When she died, in May, 1992, her grandson Peter Riva was tasked with clearing out nearly two thousand books from her apartment, many of which arrived at the American Library in Paris.

Simon Gallo, the library’s former head of collections, told me recently that only a few hours separated Riva’s initial phone call and the arrival of a truckload of books at the library’s back door. A portion of Dietrich’s collection was given to the Film Museum in Berlin, and some items—such as her personal copies of “Mein Kampf” and first editions of Cecil Beaton—were sold to private collectors. Many books donated to the American Library were simply marked with a bookplate and put into circulation. As of 2006, students could still check out Dietrich’s personal copy of “The Collected Works of Shakespeare.”

Dietrich wrote poetry—a book of her poems was edited by her daughter and published, in 2005, as “Nachtgedanken” (“Night Thoughts”). She wrote often in her bed-bound later years, and her poetry addressed Ronald Reagan, aids, and the loss of the use of her famous legs. Her book collection includes Baudelaire, Rilke, and many inscribed books by the poet Alain Bosquet, who was born in Odessa and raised in Brussels, and whose wife, Norma, was Dietrich’s secretary from 1977 to 1992. Shortly after Dietrich died, Bosquet published a recollection of decades of phone conversations with her, titled “Marlène Dietrich, une amour par telephone.”

Perhaps the most moving books in the collection are Dietrich’s volumes of Goethe. In her autobiography, she speaks of “deifying” Goethe in boarding school; after her father’s early death, she looked to Goethe as a father figure. “My passion for Goethe, along with the rest of my education, enclosed me in a complete circle full of solid moral values that I have preserved throughout my life,” she wrote. In her copies of his books, Dietrich noted passages of interest with small “X”s and with sheets torn from a notepad with a stamped red directive: Don’t Forget.

Dietrich’s books are full of marginalia. She usually scrawled it in English, and with red ink. Inside a copy of “Love Scene,” a paperback recounting the story of Laurence Olivier and Vivian Leigh, she writes, “this is without a doubt the worst writing I ever laid eyes on.” In the P. D. James novel “Innocent Blood,” she has stuffed another Don’t Forget note, this time writing beneath that phrase, “a bore.” She took her pen to the pages of a book on the Norwegian actress Liv Ullmann: “Who cares anyway?” On the first page of Anthony Burgess’s 1980 novel, “Earthly Powers,” above its notorious first sentence (“It was the afternoon of my eighty-first birthday, and I was in bed with my catamite when Ali announced that the archbishop had come to see me”), she wrote, “That’s when I stopped reading.”

But she was most active in the margins of books discussing her early life and career. The biography that appears to have drawn the most ire is Charles Higham’s, which has extensive notes in three pen colors, and exclamations such as “All lies,” “Untrue,” “Why do I always wear Karrierte costumes and grey stockings?,” and “I hated cats all my life!”

In an edition of Hemingway’s “Collected Letters,” she marked up a demonstrative letter from Hemingway to his wife Mary. Hemingway and Dietrich met on an ocean liner, in 1934, and conducted a thirty-year, sexually charged correspondence, which ended only with his suicide, in 1961. Hemingway sent drafts of his work for Dietrich to read, including his stories “Across the River and Into the Trees,” “The Good Lion,” and “The Faithful Bull.” He once wrote that the two were “victims of unsynchronized passion.” Though their letters were provocative, and Hemingway once detailed an image of Dietrich “drunk and naked,” their intimacy was, according to her grandson Peter Riva, “cerebral.” Her personal German dictionary has only one underlined word—the term of endearment by which Hemingway addressed her in his letters: "kraut."

Dietrich went so far as to sign a three-page note on a retrospective book about her movie “The Blue Angel.” In the note, she offers her recollection that Heinrich Mann, on whose novel the film was based, gave the director, Josef von Sternberg, “plein pouvoir” to “make all the changes he wanted” to character and story in order to make the film. Here, as elsewhere, one can see that Dietrich was not merely reactionary in her reading: she was engaged in final attempts to shape the record, responding to “factual” portrayals of her life and work in the hope of setting things right. Maria Riva writes that her mother wrote about her life “at the drop of a franc,” always eager to tackle “the real love of her life,” herself. Even as she was housebound and dying of renal failure, the notoriously private Dietrich continued to refine her own legacy, confident that people would puzzle over her words and belongings for decades to come.

(Source: Newyorker.com/books/page-turner/marlene-dietrichs-marginalia)